Liputan6.com, Jakarta Hujan di Moskow malam itu bukan sekadar cuaca buruk—ia menjadi saksi jatuhnya harapan dan berubahnya sejarah. Final Liga Champions 2008 mempertemukan dua raksasa Inggris, Manchester United dan Chelsea, dalam duel sarat emosi yang berakhir dengan drama adu penalti. Satu momen kecil, satu langkah tergelincir, mengubah segalanya.
John Terry berdiri di titik putih dengan kesempatan mengakhiri penantian Chelsea. Jika bola masuk, The Blues akan meraih trofi Eropa untuk pertama kalinya. Namun, tanah yang basah, tekanan yang tak tertanggungkan, dan mungkin sedikit kesombongan, menjadikan malam itu mimpi buruk baginya.
Lebih dari satu dekade berlalu, dunia masih mengingat wajah Terry yang berlinang air mata di bawah hujan Rusia. Malam yang seharusnya menjadi mahkota kepemimpinannya justru menjadi luka abadi yang tak pernah sembuh.
Luzhniki: Final Berlapis Sejarah
Pertandingan itu bukan final biasa. Digelar di Luzhniki Stadium, Moskow, 21 Mei 2008, laga ini menandai kali pertama final Liga Champions mempertemukan dua tim Inggris: Manchester United dan Chelsea. Bagi Chelsea, ini adalah debut mereka di partai puncak Eropa, sementara bagi United, ini adalah langkah melanjutkan warisan mereka yang sudah dimulai sejak era Sir Matt Busby.
Malam itu juga membawa nuansa emosional untuk Manchester United. Tahun 2008 menandai seratus tahun gelar liga pertama mereka, lima puluh tahun sejak Tragedi Munich, dan empat puluh tahun sejak menjuarai Eropa pertama kali pada 1968. Dengan Cristiano Ronaldo membuka skor dan Frank Lampard menyamakan, partai ini berjalan dalam tekanan dan tensi hingga peluit panjang.
Ketika pertandingan berlanjut ke adu penalti, semua seperti ditakdirkan berakhir secara dramatis. Ronaldo gagal mengeksekusi, memberi harapan bagi Chelsea. Hingga giliran kelima, John Terry melangkah maju—sebuah keputusan yang ternyata bukan bagian dari rencana awal.
Langkah yang Mengubah Sejarah
Claude Makelele, mantan gelandang Chelsea, mengungkapkan bahwa eksekusi penalti Terry adalah hasil perubahan dadakan. Seharusnya, Salomon Kalou menjadi penendang kelima. Namun, Terry mengambil alih, berharap bisa menjadi pahlawan. “Kami membuat kesalahan besar sebelum adu penalti. Kami sudah punya urutan yang disepakati, tapi itu berubah di menit terakhir,” ungkap Makelele.
“Seharusnya Salomon Kalou yang mengambil penalti terakhir, tapi John [Terry] mengambil kesempatan itu darinya. Saya pikir kami kalah karena sepak bola kadang sangat kejam, dan jika Anda tidak melakukan hal dengan benar, Anda akan dihukum,” tambahnya.
Makelele tak menyembunyikan kekesalannya, “Saya sangat marah saat dia gagal mengeksekusi penalti itu karena saya tahu banyak pemain muda takkan dapat kesempatan seperti ini lagi. Dia seharusnya jadi pemimpin dan melakukan yang terbaik untuk tim. Namun, dia mencoba jadi pahlawan. Kalau saja dia tahu, dia akan menjadi pahlawan karena akan mengangkat trofi itu.”
Air Mata di Tengah Hujan
Saat bola Terry membentur tiang setelah ia terpeleset di tanah basah Luzhniki, mimpi Chelsea hancur seketika. Di sisi lain, Manchester United akhirnya merayakan gelar Eropa ketiga mereka setelah Edwin van der Sar menggagalkan penalti Anelka. Namun, yang membekas dari malam itu bukan hanya perayaan Setan Merah, melainkan wajah John Terry yang terisak di bawah guyuran hujan.
Hampir dua dekade berlalu, Terry mengenang malam itu dalam sebuah podcast pada 2024. “Saya hanya ingat berdiri melihat ke luar jendela hotel di Moskow, lantai 25, hanya melihat keluar. Bertanya, ‘Kenapa? Kenapa saat itu? Kenapa mulai hujan? Kenapa saya terpeleset?’ Semua hal itu terus berputar di kepala,” ungkapnya.
Yang lebih menyakitkan baginya adalah pertandingan bersama Timnas Inggris hanya tiga hari setelah kegagalan itu. “Saya mencetak gol sundulan dari luar kotak penalti melawan Amerika Serikat di Wembley, dan itu mungkin momen tersulit. Karena kalau saya bisa menukar satu gol dalam karier saya, itu yang akan saya tukar,” ujar Terry. “Saya mencetak sundulan dari jarak 18 yard dan setelah pertandingan itu benar-benar menghancurkan saya.”
Pelajaran dari Gagal Jadi Pahlawan
Banyak yang melihat kegagalan Terry sebagai kutukan, tapi sejatinya...